Rabu, 21 Oktober 2015

Hakikat Matematika MI




                                                     PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan di MI karena mata pelajaran ini sangat berguna bagi kehidupan sehari-sehari peserta didik. Di dalamnya terdapat materi berhitung yang mana setiap peserta didik bisa bermain dengan angka-angka. Matematika di MI ini digunakan sebagai dasar untuk mempelajari matematika lanjut dan mata pelajaran lain. Sebelum mengajar dalam pembelajaran matematika maka seorang guru MI matematika memerlukan pemahaman yang cukup tentang hakikat matematika.[1]
Dalam hakikat matematika ini yang perlu dipahami adalah definisi, evaluasi, dan penerapan model yang diterapkan dalam pembelajaran matematika. Sebagai guru MI harus mengerti definisi hakikat matematika, bagaimana cara mengevaluasi dalam setiap pembelajaran berlangsung, dan harus memahami bagaimana cara menerapkan model-model yang digunakan dalam pembelajaran matematika dengan sesuai dan benar. Ini merupakan pedoman dan pegangan yang menjadi petunjuk dalam setiap proses belajar-mengajar di MI.
Dengan demikian adanya pemahaman hakikat matematika oleh setiap guru MI maka dalam mengajar pelajaran matematika lebih mudah dalam memahamkan peserta didik sehingga tujuan dalam proses belajar mengajar bisa tercapai.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi tentang hakikat pembelajaran Matematika MI?
2.      Bagaimana dengan teori yang berhubungan dengan pembelajaran Matematika?
3.      Bagaimana evaluasi pembelajaran Matematika MI?
4.      Bagaimana cara menerapkan model dalam hakikat pembelajaran Matematika MI?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi tentang hakikat pembelajaran Matematika MI.
2.      Untuk mengetahui teori yang berhubungan dengan pembelajaran Matematika
3.      Untuk mengetahui evaluasi pembelajaran Matematika MI.
4.      Untuk mengetahui cara menerapkan model dalam pembelajaran Matematika MI.



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Hakikat Pembelajaran Matematika MI
1.      Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran merupakan proses dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan peserta didik atau murid. Menurut Dimyati dan Mudjiono (dalam Sagala, 2005) pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat para peserta didik belajar aktif, yang menekankan pada sumber belajar. Selanjutnya Sagala (2005) menjelaskan bahwa pembelajaran mempunyai dua karakterisik yaitu: (a) Dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental peserta didik secara maksimal, bukan hanya menuntut peserta didik sekedar mendengar, mencatat akan tetapi menghendaki aktivitas siswa-siswi dalam proses berfikir, (b) Dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.[2]
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses belajar yang dibangun oleh pendidik untuk mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik, serta kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan pemahaman baik terhadap materi pelajaran.[3]
2.      Hakikat Matematika
Menurut Tinggih (dalam Hudojo, 2005) matematika tidak hanya berhubungan dengan bilang-bilangan serta operasi-operasinya, melainkan juga unsur ruang sebagai sasarannya. Selanjutnya Hudojo (2005) mengartikan bahwa matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Namun pada hakikatnya matematika merupakan suatu ilmu yang menggunakan cara berpikir secara dedukatif, formal dan abstrak, yang harus diberikan kepada peserta didik MI yang cara berpikirnya masih pada tahap operasi konkret. [4]
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa matematika tidak sekedar kuantitas, tetapi lebih dititikberatkan kepada hubungan pola, bentuk, struktur, fakta, konsep, operasi, dan prinsip.
3.      Hakikat Peserta Didik MI
Peserta didik MI adalah peserta didik yang berumur sekitar 6 tahun atau 7 tahun, sampai 12 tahun atau 13 tahun.[5] Menurut Piaget, anak pada usia dini masih berada dalam tahap berfikir normal dan abstrak. Anak-anak dapat memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkret.[6]
Dari usia perkembangan kognitif, peserta didik MI masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, peserta didik membutuhkan alat bantu berupa media, dan alat peraga yang memperjelas apa yang akan disampaikan oleh pendidik sehingga pembelajaran matematika akan lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh peserta didik. Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, dan selanjutnya abstrak. [7]
Dalam matematika, setiap konsep yang abstrak yang baru dipahami peserta didik perlu segera diberi penguatan, agar mengendap dan bertahan lama dalam memori peserta didik, sehingga akan melekat dalam pola pikir dan pola tindakannya. Untuk keperluan inilah, maka diperlukan adanya pembelajaran melalui perbuatan dan pengertian, tidak hanya sekedar hafalan atau mengingat fakta saja, karena hal ini akan mudah dilupakan peserta didik.[8]
4.      Hakikat Pembelajaran Matematika Anak MI
Hakikat pembelajaran matematika anak MI adalah usaha yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik MI untuk membangun pemahaman terhadap matematika. Proses pembangunan pemahaman inilah yang lebih penting daripada hasil belajar sebab pemahaman akan lebih bermakna kepada materi yang dipelajari. [9]

B.     Teori yang Berhubungan dengan Pembelajaran Matematika
Teori-teori yang akan dibahas kali ini adalah teori yang berfokus pada filsafat pendidikan yang berkembang pada saat ini, yaitu konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah kontruksi (bentukan) diri kita sendiri. Dalam revolusinya, konstruksivisme sebenarnya menggabungkan ide dari dua tokoh, yaitu Piaget dan Vygotsky. Keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru.[10]
Salah satu tokoh penting lainnya dalam paradigma konstruktivisme adalah Jerome Bruner. Menurutnya, belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan, yakni:[11]
1)      Memperoleh informasi baru
2)      Transformasi informasi
3)      Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan
Dalam hubungannya dengan matematika, Bruner merumuskan empat teorema belajar matematika, yakni:[12]
1)      Teorema konstrukvis
2)      Teorema notasi
3)      Teorema pengkontrasan dan variasi
4)      Teorema konektivitas
Untuk lebih jelasnya teori-teori yang lainnya, berikut ini disajikan ringkasan beberapa kelebihan dan kelemahan teori belajar yang dikaitkan dengan pembelajaran matematika.
Kelemahan, Kelebihan, dan Pemanfaatan dalam Pembelajaran Matematika[13]
No
Teori
Kelemahan
Kelebihan
Pemanfaatan dalam Pembelajaran
1
Skinner
Penguatan yang tidak tepat baik waktu dan sasarannya akan berakibat negatif pada mental siswa dan respon terhadap pelajaran.
·         Penguatan positif dapat meningkatkan respon siswa
·         Penguatan negatif dapat membuat siswa terpacu untuk memperbaiki diri
Diberikan penguatan positif berupa reward pada anak yang bisa mengerjakan soal matematika dengan benar.
2
Piaget
Kurang efektif untuk perhitungan dalam jumlah yang bayak dan akan mengalami kesulitan untuk mengkonkritkan benda-benda yang mungkin tidak terdapat disekitar kita
·         Anak berfikir logik karena didasarkan pada manipulasi fisik obyek-obyek konkret
·         Anak dapat lebih cepat memahami konsep matematika dengan bantuan manipulasi benda-benda konkret
Guru membawa beberapa peraga yang dapat mengkonkritkan bahan ajar
3
Bruner
Intuisi anak yang berbeda menimbulkan pemahaman terhadap konsep yang berbeda pula
·         Materi lebih mudah dipahami secara komprehensif
·         Siswa terlibat aktif mentalnya yang diperlihatkan dengan keaktifan fisiknya
·         Dalil-dalil pembelajaran disesuaikan dengan perkembangan mental siswa
Anak disuruh menjelaskan konsep dengan menggabungkan beberapa dalil sesuai dengan perkembangan mentalnya
4
Gagne
·         Apabila anak tidak paham/belum paham pada pengetahuan prasyarat maka anak akan kesulitan untuk mempelajari pengetahuan berikutnya.
·         Jika siswa melakukan kesalahan itu dipraktekkannya berulang-ulang hal itu akan menjadi kebiasaan baginya dan sukar diperbaiki
Pengetahuan diurutkan menjadi bagian-bagian kecil untuk memudahkan siswa mengkaitkan pengetahuan baru dengan yag lama
·         Setiap memulai pelajaran matematika guru mengecek kesiapan siswa mempelajari bahan baru dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki siswa
·         Jika terjadi kesalahan guru harus membetulkannya agar tidak menjadi kebiasaan
5
Thorndike
·         Jika tindakan anak tersebut mengakibatkan kekecewaan maka matematika akan menjadi pelajaran yang dihindari
·         Jika penjelasan guru salah maka siswa akan mengulangi kesalahan itu dilain waktu
·         Law of exercise membuat anak semakin paham akan matematika dimana matematika membutuhkan banyak latihan untuk memahami konsep dan materi makin sering berlatih maka makin baik respon siswa terhadap pelajaran matematika
·         Jika tindakan seorang anak mengakibatkan kepuasan dalam dirinya maka tindakan tersebut cenderung diulangi
·         Banyaknya pengulangan akan menentukan lamanya konsep matematika tertanam dalam ingatan anak didik
·         Anak diberi latihan soal berulang-ulang sampai mengerti konsep dan tertanam dalam ingatan
·         Diberikan ganjaran apabila siswa berhasil memahami konsep yang diajarkan agar semakin menyenangi pelajaran matematika

C.            Evaluasi Pembelajaran Matematika MI
Penilaian merupakan bagian integral dari kegiatan belajar mengajar yang efektif. Penilaian memungkinkan kemajuan siswa dikenali serta diumumkan. Selain itu, penilaian menginformasikan langkah-langkah dan prioritas selanjutnya dari guru dan pelajar. Penilaian tidak terpisahkan dari kurikulum, yang menyediakan konten dan konteks penilaian.
Secara umum menurut Sudjiono (2001) bentuk atau teknik evaluasi yang dipergunakan dalam dunia pendidikan meliputi teknik tes dan non tes.[14]
1.      Teknik Tes
Teknik tes adalah cara yang dipergunakan atau prosedur yang ditempuh dalam rangka pengukuran dan penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas sehingga dapat diketahui atau dinilai tingkah laku dari subyek yang dinilai.
Berikut merupakan jenis-jenis teknik tes berdasarkan fungsinya :
a.       Tes seleksi, yaitu tes yang berfungsi untuk memilih atau menyeleksi tes yang berhak mengikuti suatu program
b.      Tes awal, yaitu tes yang bertujuan untuk mengetahui sejauhmana penguasaanpeserta didik terhadap materi yang akan diajrkan
c.       Tes akhir, yaitu tes yang dilaksanakan untuk mengetahui apakah semua materi yang telah dijarkan dapat dikuasai dengan baik oleh peserta didik.
d.      Tes diagnostik, yaitu tes yang bertujuan untuk mengetahui jenis dan tingkat kesukaran yang dihadapi oleh peserta didik
e.       Tes formatif, yaitu tes hasil belajar yang bertujuan untuk mengetahui sudah sejauh mana peserta didik telah terbentuk setelah mereka mana mereka mengikuti pembelajaran.
f.       Tes sumatif, yaitu tes hasil belajar yang dilaksankan setelah bebrapa program pembelajaran dilaksanakan.
Berdasarkan aspek psikis yang diungkap, teknik tes dibagi menjadi :
a.    Tes intelegensi (intellegency test), yaitu tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap atau mengetahui tingkat kecerdasan seseorang.
b.    Tes kemampuan (aptitude test), yaitu tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan dasar atau bakat khusus yang dimiliki peserta didik.
c.    Tes sikap (attitude test), yaitu salah satu jenis tes yang dipergunakan untuk mengungkap predisposisi atau kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu tertentu.
d.   Tes kepribadian (personality test) yaitu tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap ciri-ciri khas dari seseorang yang banyak sedikitnya bersifat lahiriah, seperti gaya bicara, cara berpakaian dan lain sebagainya.
e.    Tes hasil belajar (achievement test), yaitu tes yang biasa digunakan untuk mengungkap tingkat pencapaian atau prestasi belajar peserta didik.



Berdasarkan respon yang diinginkan, teknik tes dibagi menjadi :
a.    Verbal test, yaitu tes uang menghendaki respon (jawaban) Yng tertuang dalam bentuk ungkapan kata-kata atau kalimat, baik secara lisan maupun tertulis.
b.    Nonverbal test, yaitu tes yang menghendaki respon atau tingkah laku dari peserta didik.
2.      Teknik Non Tes
Teknik non tes adalah suatu bentuk evaluasi yang dilaksanakan tanpa menguji peserta didik melainkan dilakukan dengan melakukan pengamatan secara sistematis, melakukan wawancara, menyebarkan angket dan memeriksa atau meneliti dokumen-dokumen.

D.            Penerapan Model Pembelajaran Matematika MI
1.      Penerapan model pembelajaran langsung
Model pembelajaran langsung merupakan model pembelajaran yang berpusat pada pendidik. Model ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan pendidik dalam mengajarkan hal-hal yang bersifat informatif.[15] Model pembelajaran langsung memiliki keunggulan untuk mengajarkan pengetahuan bersifat deklaratif dan prosedural. Adapun model pembelajaran langsung ini terdapat 5 langkah yaitu :
a.    Fase I, Persiapan
Pendidik berperan dalam menyampaikan materi, memotivasi peserta didik dan mempersiapkan peserta didik untuk menerima materi.
b.    Fase II, Demonstrasi
Pendidik berperan dalam mendemonstrasikan informasi tahap demi tahap dalam proses belajar mengajar.

c.    Fase III, Pelatihan Terbimbing
Pendidik berperan memberikan bimbingan untuk menyelesaikan latihan
d.   Fase IV, Umpan Balik
Pendidik berperan mengecek kemampuan peserta didik dan memberi umpan balik atas materi Matematika yang telah disampaikan.
e.    Fase V Pelatihan Lanjut
Pendidik berperan dalam mempersiapkan latihan peserta didik dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan sehari-hari.

2.      Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.[16] Dalam Problem based learning peserta didik bekerja sama untuk mempelajari suatu masalah sambil berusaha memperoleh solusi yang tepat. Problem based learning merupakan strategi pembelajaran yang mengatur pembelajaran matematika dengan aktivitas penyelesaian masalah dan memberi kesempatan bagi peserta didik untuk berpikir lebih kritis, menyampaikan ide kreatif dan mengkomunikasikannya secara sistematis.
Maka dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem based learning) merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks belajar untuk melatih peserta didik menyelesaikan suatu masalah dan memperoleh pengetahuan baru. Adapun tahapan-tahapan dari model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
a.    Orientasi peserta didik terhadap masalah.[17]
b.    Mengorganisasi peserta didik untuk belajar.
c.    Membimbing penyelidikan individual dan kelompok.
d.   Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
e.    Menganalisis dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah.

3.      Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif menurut Kelough (dalam Kasbollah, 2007) mendefinisikan sebagai suatu strategi pembelajaran yang secara berkelompok siswa-siswi belajar bersama dan saling membantu dalam membuat tugas dengan penekanan pada saling support diantara anggota. Menurut teori motivasi tujuan kooperatif menciptakan suatu situasi di dalamnya keberhasilan mereka tercapai bila siswa-siswi lain juga mencapai tujuan tersebut. Adapun karakteristiknya dari pembelajaran kooperatif adalah:
a.    Peserta didik belajar dalam kelompok, produktif mendengar, mengemukakan pendapat dan membuat keputusan secara bersama.
b.    Kelompok terdiri dari peserta didik yang berkemampuan tingggi, sedang dan rendah.
c.    Diupayakan dalam setiap kelompok memiliki ras, budaya dan jenis kelamin yang berbeda.
d.   Lebih mengutamakan kelompok daripada perorangan.[18]
Ada lima prinsip dalam penerapan model pembelajaran kooperatif yaitu:
a.    Positive interdependence, yaitu saling tergantung secara positif. Artinya, anggota kelompok menyadari bahwa mereka perlu bekerja sama untuk mencapai tujuan.
b.    Face to face interaction, yaitu semua anggota berinteraksi dengan saling berhadapan.
c.    Individual accountability, yaitu setiap anggota harus belajar dan menyumbang demi pekerjaan dan keberhasilan kelompok.
d.   Use of collaboration, yaitu keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi diperlukan, untuk ini diperlukan bimbingan dari pendidik agar peserta didik dapat berkolaborasi.
e.    Group processing, yaitu peserta didik perlu menilai bagaimana mereka dapat bekerja sama secara efektif.
Sedangkan pembelajaran kooperatif dalam penerapannya mempunyai langkah-langkahnya sebagai berikut : [19]
a.    Fase I, yaitu menyajikan tujuan dan memotivasi peserta didik.
b.    Fase II, yaitu menyajikan informasi. Pendidik berperan menyajikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
c.    Fase III, yaitu membimbing kelompok bekerja dan belajar. Pendidik berperan menjelaskan kepada peserta didik bagaiana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok melakukan transisi secara efisien.
d.   Fase IV, yaitu mengorganisasi peserta didik ke dalam kelompok belajar. Pendidik berperan membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
e.    Fase V, yaitu mengevaluasi. Guru berperan mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
f.     Fase VI, yaitu memberikan penghargaan. Pendidik berperan mencari cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok.
4.      Penerapan Model Pembelajaran Induktif
Model pembelajaran induktif merupakan pembelajaran yang menghendaki penarikan kesimpulan-kesimpulan yang didasarkan atas fakta-fakta yang konkret sebanyak mungkin. Langkah-langkah dalam model pembelajaran induktif yaitu sebagai berikut:
a.    Pemilihan prinsip[20]
Guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif
b.    Pemberian contoh
Pendidik menyajikan contoh khusus yang mendukung prinsip atau aturan.
c.    Pemberian contoh lain
Pendidik menyajikan bukti berupa contoh tambahan untuk menunjang atau memperkuat prinsip.
d.   Menyimpulkan
Pendidik memberikan penegasan pada contoh tersebut dan kemudian disimpulkan.

5.      Penerapan Model Pembelajaran Terbimbing
Model  pembelajaran terbimbing merupakan salah satu jenis model pembelajaran yang menempatkan pendidik sebagai fasilitator yang membantu dan memfasilitasi peserta didik selama pembelajaran berlangsung. Dengan adanya model pembelajaran terbimbing ini dapat menjadikan peserta didik berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran, menumbuhkan dan menanamkan sikap inquiry,[21] mendukung kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi positif baik antara para peserta didik maupun antara pendidik dengan peserta didik dan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik karena terlibat secara langsung dalam pembelajaran.
Langkah-langkah dalam model pembelajaran terbimbing adalah sebagai berikut:
a.    Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada peserta didik dengan data awal yang secukupnya.
b.    Peserta didik menyusun, memproses, mengorganisasi dan menganalisis data.
c.    Peserta didik menyusun konjektur (perkiraan) dari analisis data yang dilakukannya.
d.   Guru memeriksa konjektur yang telah dirumuskan peserta didik.
e.    Jika telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka akan dikembalikan kepada peserta didik untuk merumuskannya.
f.     Guru menyediakan soal latihan untuk memeriksa kebenaran konjektur tersebut.[22]

BAB III
PENUTUP

A.            Simpulan
1.      Hakikat pembelajaran Matematika MI adalah usaha yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik MI untuk membangun pemahaman terhadap Matematika.
2.      Adapun teknik tes yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran matematika diantaranya tes seleksi, tes awal, tes akhir, tes diagnosis, tes formatif, tes sumatif, ataupun teknik non tes.
3.      Penerapan model pembelajaran langsung dapat dilalui melalui lima tahap, yaitu tahap persiapan, tahap demonstrasi, tahap pelaihan terbimbing, tahap umpan balik, dan tahap pelatihan lanjut.
4.      Penerapan model pembelajaran berbasis masalah dapat dilalui melalui lima tahap, yaitu orientasi peserta didik terhadap masalah, mengorganisasi peserta didik untuk belajar, membimbing penyelidikan individual dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan menganalisis dam mengevaluasi proses penyelesaian masalah.
5.      Penerapan model pembelajaran kooperatif dapat dilalui melalui enam tahap, yaitu pendidik menyampaikan tujuan dan memberikan motivasi, pendidik menyajikan informasi, pendidik membimbing kelompok, pendidik mengorganisasi peserta didik ke dalam kelompok besar, pendidik melakukan evaluasi, dan pendidik memberikan penghargaan.
6.      Penerapan model pembelajaran induktif dapat dilakukan dengan melewati empat tahap, yaitu tahap pemilihan prinsip, tahap pemberian contoh, tahap pemberian contoh lain, dan tahap menyimpulkan.
7.      Penerapan model pembelajaran terbimbing dapat dilalui melalui enam tahap, yaitu pendidik merumuskan masalah yang akan diberikan kepada peserta didik, peserta didik menyusun, memproses, mengorganisasi dan menganalisis data, peserta didik menyusun konektur (perkiraan) dari analisis data, pendidik memeriksa konjektur, jika konjektur sudah pasti, konjektur dikembalikan kepada peserta didik lagi untuk dirumuskan, dan tahap yang terakhir adalah pendidik menyediakan soal untuk memeriksa kebenaran konjektur.




[1] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, (Surabaya: Lapis PGMI, 2009), hlm. 6.
[2] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.6.
[3] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.6-7.
[4] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.7.
[5] Heruman, Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013), hlm.1.
[6] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.8.
[7] Heruman, Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar, hlm. 2.
[8] Heruman, Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar, hlm.2.
[9] Esti Yulis Widayanti, dkk, Lapis PGMI, hlm.9.
[10] Abdur Rahman As’ari, dkk, Pembelajaran Matematika SD 2, (Banda Aceh: Universitas Syiah Banda Aceh, IAIN Ar Raniry Banda Aceh), hlm. 171.
[11] Abdur Rahman As’ari, dkk, Pembelajaran Matematika SD 2, hlm.172.
[12] Abdur Rahman As’ari, dkk, Pembelajaran Matematika SD 2,hlm. 173.
[13] Abdur Rahman As’ari, dkk, Pembelajaran Matematika SD 2, hlm.174-176.
[14] Muhammad Baihaqi, Evaluasi Pembelajaran, (Surabaya: Lapis Pgmi, 2008), hlm. 8.
[15] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.10.
[16] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.11.
[17] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm. 12.
[18] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.13.
[19] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.14.
[20] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.15.
[21] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.16.
[22] Esti Yulis Widayanti, dkk, Pembelajaran Matematika MI, hlm.17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar