Selasa, 29 September 2015

Makalah Perkembangan Moral Pada Anak SD/MI dengan Footnote



PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK SD/MI




Dosen Pengampuh :
M. Bahri Mustofa, M.Pd. I

KELOMPOK 8 :
1.      Dewi Ratnasari           (D77213062)
2.      Erlinda Rochmatin       (D77213065)
3.      Frida Aprilia R.           (D77213069)
4.      Luluk Mas’adah          (D77213074)
5.      Nikmatur Rochmah     (D77213083)
3A-PGMI

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan dalam psikologi merupakan konsep yang mengandung banyak dimensi. Dimensi dalam konsep perkembangan di antaranya adalah pertumbuhan, kematangan, dan perubahan. Setiap individu mengalami perkembangan pada semua aspek dalam dirinya secara terus menurus dan tidak pernah berhenti. Untuk memahami perkembangan anak, salah satunya perlu ditinjau dari perkembangan moral anak tersebut. Moral merupakan adat-istiadat, kebiasaan, peraturan/nila-nilai atau tata cara kehidupan. Individu dalam kehidupannya pasti mengalami perkembangan moral. Anak dalam hidupnya akan bertemu dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma-norma inilah yang biasanya dikaitkan dengan moral, jadi moral adalah penilaian tentang perilaku seseorang dalam kehidupan baik buruknya sikap seseorang dan penilaian berdasarkan pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian moral ?
2.      Bagaimana perkembangan moral pada anak SD/MI ?
3.      Bagaimana perkembangan kesadaran moralitas pada anak SD/MI ?

C.  Tujuan
1.      Mengetahui tentang Pengertian Moral.
2.      Mengetahui tentang Perkembangan Moral pada anak SD/MI.
3.      Mengetahui tentang Perkembangan Kesadaran Moralitas pada anak SD/MI.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Moral
Moral berasal dari kata latin mores yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.[1] Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi (Shaffer, 1979).[2] Secara umum moral dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika  melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tertentu. Dalam definisi ini, individu yang matang secara moral tidak membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak mengharapkan hadiah atau hukuman . Mereka menginternalisasi prinsip moral yang mereka pelajari dan memenuhi gagasannya, walaupun tidak ada tokoh otoritas yang hadir untuk menyaksikan atau mendorong mereka.[3] Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.[4]
Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu :[5]
1.      komponen afektif atau emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan ( seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran dan tindakan moral.
2.      Komponen kognitif merupakan  pusat dimana seseorang melakukan konseptualisasi benar atau salh dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku.
3.      Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau melanggar aturan moral lainnya.

B.     Perkembangan Moral pada Anak SD/MI
Fase anak sedolah dasar ini dimulai sejak anak-anak berusia 6-12 tahun atau sampai seksualnya matang. Kematangan seksual ini sangat bervariasi baik antara jenis kelamin maupun antarbudaya yang berbeda. Anak-anak sudah lebih menjadi mandiri. Pada masa inilah anak paling peka dan siap untuk belajar dan dapat memahami pengetahuan serta selalu ingin bertanya. Sedangkan untuk perkembangan moralnya adalah sebagai berikut :[6]
1.      Anak mulai mengenal konsep moral pertama kali dari lingkungan keluarga. Pada mulanya mungkin anak tidak mengerti konsep moral ini, tetapi lambat laun anak akan memahaminya. Usaha menanamkan moral sejak usia dini merupakan hal yang seharusnya karena informasi yang diterima mengenai benar-salah atau baik-buruk akan menjadi pedoman tingkah lakunya kemudian hari.[7]
2.      Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak sudah memahami alasan yang mendasari suatu peraturan. Di samping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan konsep benar-salah atau baik-buruk. Misalnya, dia menilai bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu yang salah atau buruk. Sedangkan perbuatab jujur, adil dan sikap hormat kepada orang tua dan guru merupakan sesuatu yang benar atau baik.[8]
Klasifikasi perkembangan moral menurut Abid Syamsudin Makmun, sebagai berikut :[9]
1.   Prakonvensional, pada tahap ini anak mengenal baik buruk, benar salah atas suatu perbuatan dari sudut konsekuensi/ dampak/ akibat yaitu apabila menyenangkan mendapat ganjaran, apabila tidak menyenangkan mendapatkan hukuman, atau enak tidaknya akibat perbuatan yang diterima.
Pada tingkat prakonvensional ini memiliki dua tahap, yaitu :[10]
a.       Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkan.
b.      Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan yang dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan akadang-kadang juga kebutuhan orang lain.
2.   Konvensional, pada tahap ini anak memandang perbuatan itu baik/ benar,  atau berharga bagi dirinya apabila dapat memenuhi harapan/ persetujuan keluarga, kelompok, bangsa. Di sini berkembang sikap konformitas, loyalitas, atau penyesuaian diri terhadap keinginan kelompok, atau aturan social.
Pada tingkat Konvensional ini memiliki dua tahap, yaitu :[11]
a.       Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut orientasi “ anak manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
b.      Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib social. perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib social yang ada.
3.   Pascakonvesional, pada tingkat ini ada usaha individu untuk mengartkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang dapat diterapkan atau dilaksanakan terlepas dari otoritas kelompok, pendukung, atau orang yang memegang/ manganut prinsip-prinsip moral tersebut, juga terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak.
Pada tingkat pascakonvensional ada dua tahap, yaitu :[12]
a.       Tahap 5 : orientasi kontrak social legalitas
Pada tahap ini, perbuatan yan baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini, terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai relativisme nilai tersebut.
b.      Tahap 6 : orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsisteni, logis.

C.     Perkembangan Kesadaran Moralitas pada anak SD/MI
Suatu system social yang paling awal berusaha menumbuhkembangkan system nilai, moral, dan siakap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, perintah, larangan, hadiah, hukuman, dan lain-lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.[13]
Upaya pengembangan niali, moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah. Akhir-akhir ini, karena semakin maraknya perilaku remaja yang kurang menjunjung tinggi nilai-nilai, moral, dan sikap positif maka diberlakukan lagi pendidikan budi pekerti di sekolah. Penentuan kelulusan siswa, tidak hanya didasarkan pada prestasi akademik belaka melainkan harus dikaitkan dengan budi pekerti siswa tersebut. Proses pendidikan budi pekerti meskipun zaman sebelumnya sudah diterapkan di sekolah, namun kemudian menghilang begitu saja seiring dengan gencarnya kampanye mengejar ketertinggalan dalam pembnagunan teknologi. Pendidikan budi pekerti ini sampai sekarang masih dalam proses dan penyempurnaan untuk kemudian menunggu hasilnya dievaluasi.[14]
Serangkaian penelitian menarik yang dilakukan oleh Blatt dan Kohlberg (1995) menunjukkan bahwa upaya pedagogis yang lebih terbatas untuk merangsang proses perkembangan moral dapat juga memiliki dampak yang berarti pada anak. Praktiknya adalah membentuk kelompok yang masing-masing beranggotakan 10 orang siswa, bertemu dua kali dalam seminggu selama tiga bulan untuk membahas berbagai dilema moral. Kebanyakan siswa dalam kelas perkembangan moralnya ternyata mengalami kemajuan hampir satu tahap penuh. Suatu perubahan substansial untuk kurun waktu sependek itu. Apalagi, para siswa yang telah mengalami kemajuan setelah 12 minggu tetap menunjukkan kemajuan itu setahun kemudian ketimbang kelompok siswa yang tidak pernah memiliki pengalaman diskusi dilema moral.[15]
Prosedur diskusi moral yang digunakan oleh Blatt berbeda dengan yang umumnya dilakukan oleh para guru. Prosedur diskusi moralnya menggunakan apa yang disebut dengan istilah “induksi konflik kognitif” (cognitive-conflict induction) mengenai masalah-masalah moral dan memberikan ketebukaan terhadap tahap berpikir yang sebenarnya berada di atas tahap berpikir siswa.
Prosedur pertama, kurikulum pendidikan moral dipusatkan pada suatu rangkaian dilema moral yang didiskusikan bersama-sama antara siswa dan guru. Semua dilema moral yang dipilih adalah yang dapat mencetuskan konflik-kognitif, yaitu rasa tidak pasti mengenai apa yang benar, memadainya keyakinan moral yang ada dan yang dipegang oleh siswa, atau dipilih karena dilema moral dapat menimbulkan perdebatan di kalangan siswa.[16]
Prosedur kedua, menimbulkan diskusi antara para murid pada dua tahap perkembangan moral yang berdekatan. Kebanyakan kelas yang digunakan Blatt terdiri atas para siswa yang sekurang-kurangnya memiliki tiga tahap perkembangan moral yang berbeda dan berdekatan. Karena para siswa berpikir sesuai dengan perbedaan tahap perkembangan moralnya, argumentasi yang mereka gunakan juga menjadi berbeda dan bervariasi. Selama diskusi berlangsung, guru mula-mula mendukung dan menjelaskan semua argumentasi yang berada satu tahap di atas perkembangan moral terendah. Misalnya, guru mendukung argumentasi siswa yang berada pada tahap 3 daripada tahap 2. Apabila argumentasi tampak dipahami oleh siswa, guru menantang tahap 3 sambil menggunakan situasi-situasi dilema moral baru dan menjelaskan semua arguman yang berasal dari satu tahap di atasnya, yaitu argumen-argumen dari tahap 4. Pada akhir semester, semua siswa diuji ulang, dan hasilnya ternyata para siswa memperlihatkan perubahan yang berarti ke tingkat yang lebih tinggi daripada kelompok yang tidak dilibatkan dalam diskusi moral. Sesuatu yang menggembirakan adalah bahwa perubahan ke tingkat yang lebih tinggi mampu bertahan hingga setahun kemudian. [17]







BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
1.   Secara umum moral dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika  melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tertentu. Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu :
a.       komponen afektif atau emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan ( seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran dan tindakan moral.
b.      Komponen kognitif merupakan  pusat dimana seseorang melakukan konseptualisasi benar atau salh dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku.
c.       Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau melanggar aturan moral lainnya.

2.   perkembangan moral pada anak adalah sebagai berikut :
a.       Anak mulai mengenal konsep moral pertama kali dari lingkungan keluarga.
b.      Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya.

3.   Perkembangan Kesadaran Moralitas pada anak SD/MI
Sutau system social yang paling awal berusaha menumbuhkembangkan system nilai, moral, dan siakap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama
B.     Saran
1.   Untuk pembaca diharapkan lebih mendalami materi ini.
2.   Bagi penyusun diharapkan lebih baik lagi dalam penyusunan makalah selanjutnya.


 DAFTAR PUSTAKA

Ali , Mohammad , dkk. 2008.  Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Hasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Hastuti, Wiwik Dwi, dkk.  2008. Perkembangan Peserta Didik “Paket 9”. Surabaya : LAPIS-PGMI.
Muawanah, Elfi. 2009. Bimbingan dan Konseling Islami di Sekolah Dasar. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Yusuf , Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja.  Bandung :  PT. Remaja Rosdakarya.



[1] Wiwik Dwi Hastuti, dkk, Perkembangan Peserta Didik “Paket 9”, (Surabaya : LAPIS-PGMI, 2008), 7.
[2] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, ( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008) , 136
[3] Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), 261.
[4] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 136
[5] Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, 262.
[6] Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya ,2011  ), 12.
[7] Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja,12.
[8] Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja,13.
[9] Elfi Muawanah, Bimbingan dan Konseling Islami di Sekolah Dasar, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009) 16.
[10] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 137-138
[11] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 138
[12] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 139
[13] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 140.
[14] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 141.
[15] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 142.
[16] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 143.
[17] Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, 145.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar