PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK SD/MI
Dosen Pengampuh :
M. Bahri Mustofa, M.Pd.
I
KELOMPOK 8 :
1.
Dewi Ratnasari (D77213062)
2.
Erlinda Rochmatin (D77213065)
3.
Frida Aprilia R. (D77213069)
4.
Luluk Mas’adah
(D77213074)
5.
Nikmatur Rochmah (D77213083)
3A-PGMI
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan dalam psikologi
merupakan konsep yang mengandung banyak dimensi. Dimensi dalam konsep
perkembangan di antaranya adalah pertumbuhan, kematangan, dan perubahan. Setiap
individu mengalami perkembangan pada semua aspek dalam dirinya secara terus
menurus dan tidak pernah berhenti. Untuk memahami perkembangan anak, salah
satunya perlu ditinjau dari perkembangan moral anak tersebut. Moral merupakan
adat-istiadat, kebiasaan, peraturan/nila-nilai atau tata cara kehidupan.
Individu dalam kehidupannya pasti mengalami perkembangan moral. Anak dalam hidupnya
akan bertemu dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma-norma inilah
yang biasanya dikaitkan dengan moral, jadi moral adalah penilaian tentang
perilaku seseorang dalam kehidupan baik buruknya sikap seseorang dan penilaian
berdasarkan pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah pengertian moral ?
2. Bagaimana perkembangan moral pada anak
SD/MI ?
3. Bagaimana perkembangan kesadaran
moralitas pada anak SD/MI ?
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang Pengertian Moral.
2. Mengetahui tentang Perkembangan Moral
pada anak SD/MI.
3. Mengetahui tentang Perkembangan Kesadaran
Moralitas pada anak SD/MI.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata latin
mores yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.[1]
Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku
yang harus dipatuhi (Shaffer, 1979).[2]
Secara umum moral dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar
dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan
diri ketika melakukan yang benar dan
merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tertentu. Dalam definisi
ini, individu yang matang secara moral tidak membiarkan masyarakat untuk
mendikte mereka karena mereka tidak mengharapkan hadiah atau hukuman . Mereka
menginternalisasi prinsip moral yang mereka pelajari dan memenuhi gagasannya,
walaupun tidak ada tokoh otoritas yang hadir untuk menyaksikan atau mendorong
mereka.[3]
Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh
keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.[4]
Moralitas memiliki tiga komponen,
yaitu :[5]
1. komponen afektif atau emosional terdiri
dari berbagai jenis perasaan ( seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian
terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan
salah yang memotivasi pemikiran dan tindakan moral.
2. Komponen kognitif merupakan pusat dimana seseorang melakukan
konseptualisasi benar atau salh dan membuat keputusan tentang bagaimana
seseorang berperilaku.
3. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana
seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong,
curang, atau melanggar aturan moral lainnya.
B. Perkembangan Moral pada Anak SD/MI
Fase anak sedolah dasar ini dimulai
sejak anak-anak berusia 6-12 tahun atau sampai seksualnya matang. Kematangan
seksual ini sangat bervariasi baik antara jenis kelamin maupun antarbudaya yang
berbeda. Anak-anak sudah lebih menjadi mandiri. Pada masa inilah anak paling
peka dan siap untuk belajar dan dapat memahami pengetahuan serta selalu ingin
bertanya. Sedangkan untuk perkembangan moralnya adalah sebagai berikut :[6]
1. Anak mulai mengenal konsep moral pertama
kali dari lingkungan keluarga. Pada mulanya mungkin anak tidak mengerti konsep
moral ini, tetapi lambat laun anak akan memahaminya. Usaha menanamkan moral
sejak usia dini merupakan hal yang seharusnya karena informasi yang diterima
mengenai benar-salah atau baik-buruk akan menjadi pedoman tingkah lakunya kemudian
hari.[7]
2. Pada usia sekolah dasar, anak sudah
dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan
sosialnya. Pada akhir usia ini, anak sudah memahami alasan yang mendasari suatu
peraturan. Di samping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk
perilaku dengan konsep benar-salah atau baik-buruk. Misalnya, dia menilai bahwa
perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu
yang salah atau buruk. Sedangkan perbuatab jujur, adil dan sikap hormat kepada
orang tua dan guru merupakan sesuatu yang benar atau baik.[8]
Klasifikasi perkembangan moral
menurut Abid Syamsudin Makmun, sebagai berikut :[9]
1. Prakonvensional, pada tahap ini anak
mengenal baik buruk, benar salah atas suatu perbuatan dari sudut konsekuensi/
dampak/ akibat yaitu apabila menyenangkan mendapat ganjaran, apabila tidak
menyenangkan mendapatkan hukuman, atau enak tidaknya akibat perbuatan yang
diterima.
Pada tingkat prakonvensional ini memiliki dua tahap,
yaitu :[10]
a. Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik suatu perbuatan
menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari
akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindari hukuman dan tunduk pada
kekuasaan tanpa mempersoalkan.
b. Tahap 2: Orientasi
relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan yang dianggap benar adalah
perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri
dan akadang-kadang juga kebutuhan orang lain.
2. Konvensional, pada tahap ini anak
memandang perbuatan itu baik/ benar,
atau berharga bagi dirinya apabila dapat memenuhi harapan/ persetujuan
keluarga, kelompok, bangsa. Di sini berkembang sikap konformitas, loyalitas,
atau penyesuaian diri terhadap keinginan kelompok, atau aturan social.
Pada tingkat Konvensional ini memiliki dua tahap,
yaitu :[11]
a. Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara
pribadi atau disebut orientasi “ anak manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah
yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
b. Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap
otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib social. perilaku yang
baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas, dan
menjaga tata tertib social yang ada.
3. Pascakonvesional, pada tingkat ini ada
usaha individu untuk mengartkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang
dapat diterapkan atau dilaksanakan terlepas dari otoritas kelompok, pendukung,
atau orang yang memegang/ manganut prinsip-prinsip moral tersebut, juga
terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak.
Pada tingkat pascakonvensional ada dua tahap, yaitu
:[12]
a. Tahap 5 : orientasi kontrak social
legalitas
Pada
tahap ini, perbuatan yan baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan
ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh
masyarakat. Pada tahap ini, terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme
nilai dan pendapat pribadi sesuai relativisme nilai tersebut.
b. Tahap 6 : orientasi prinsip dan etika
universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh keputusan suara
batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu
kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsisteni, logis.
C. Perkembangan Kesadaran Moralitas pada
anak SD/MI
Suatu system social yang paling awal berusaha menumbuhkembangkan system
nilai, moral, dan siakap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh
keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan
berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah,
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang
terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui
proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, perintah, larangan, hadiah,
hukuman, dan lain-lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral,
dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi
penerus yang diharapkan.[13]
Upaya pengembangan niali, moral,
dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan
sekolah. Akhir-akhir ini, karena semakin maraknya perilaku remaja yang kurang
menjunjung tinggi nilai-nilai, moral, dan sikap positif maka diberlakukan lagi
pendidikan budi pekerti di sekolah. Penentuan kelulusan siswa, tidak hanya
didasarkan pada prestasi akademik belaka melainkan harus dikaitkan dengan budi
pekerti siswa tersebut. Proses pendidikan budi pekerti meskipun zaman
sebelumnya sudah diterapkan di sekolah, namun kemudian menghilang begitu saja
seiring dengan gencarnya kampanye mengejar ketertinggalan dalam pembnagunan
teknologi. Pendidikan budi pekerti ini sampai sekarang masih dalam proses dan
penyempurnaan untuk kemudian menunggu hasilnya dievaluasi.[14]
Serangkaian penelitian menarik yang dilakukan oleh Blatt dan Kohlberg
(1995) menunjukkan bahwa upaya pedagogis yang lebih terbatas untuk merangsang
proses perkembangan moral dapat juga memiliki dampak yang berarti pada anak.
Praktiknya adalah membentuk kelompok yang masing-masing beranggotakan 10 orang
siswa, bertemu dua kali dalam seminggu selama tiga bulan untuk membahas
berbagai dilema moral. Kebanyakan siswa dalam kelas perkembangan moralnya
ternyata mengalami kemajuan hampir satu tahap penuh. Suatu perubahan
substansial untuk kurun waktu sependek itu. Apalagi, para siswa yang telah
mengalami kemajuan setelah 12 minggu tetap menunjukkan kemajuan itu setahun
kemudian ketimbang kelompok siswa yang tidak pernah memiliki pengalaman diskusi
dilema moral.[15]
Prosedur diskusi moral yang digunakan oleh Blatt berbeda dengan yang
umumnya dilakukan oleh para guru. Prosedur diskusi moralnya menggunakan apa
yang disebut dengan istilah “induksi konflik kognitif” (cognitive-conflict
induction) mengenai masalah-masalah moral dan memberikan ketebukaan terhadap tahap
berpikir yang sebenarnya berada di atas tahap berpikir siswa.
Prosedur pertama, kurikulum pendidikan moral dipusatkan pada suatu
rangkaian dilema moral yang didiskusikan bersama-sama antara siswa dan guru.
Semua dilema moral yang dipilih adalah yang dapat mencetuskan konflik-kognitif,
yaitu rasa tidak pasti mengenai apa yang benar, memadainya keyakinan moral yang
ada dan yang dipegang oleh siswa, atau dipilih karena dilema moral dapat
menimbulkan perdebatan di kalangan siswa.[16]
Prosedur kedua, menimbulkan diskusi antara para
murid pada dua tahap perkembangan moral yang berdekatan. Kebanyakan kelas
yang digunakan Blatt terdiri atas para siswa yang sekurang-kurangnya memiliki
tiga tahap perkembangan moral yang berbeda dan berdekatan. Karena para siswa
berpikir sesuai dengan perbedaan tahap perkembangan moralnya, argumentasi yang
mereka gunakan juga menjadi berbeda dan bervariasi. Selama diskusi berlangsung,
guru mula-mula mendukung dan menjelaskan semua argumentasi yang berada satu
tahap di atas perkembangan moral terendah. Misalnya, guru mendukung argumentasi
siswa yang berada pada tahap 3 daripada tahap 2. Apabila argumentasi tampak
dipahami oleh siswa, guru menantang tahap 3 sambil menggunakan situasi-situasi
dilema moral baru dan menjelaskan semua arguman yang berasal dari satu tahap di
atasnya, yaitu argumen-argumen dari tahap 4. Pada akhir semester, semua siswa
diuji ulang, dan hasilnya ternyata para siswa memperlihatkan perubahan yang
berarti ke tingkat yang lebih tinggi daripada kelompok yang tidak dilibatkan
dalam diskusi moral. Sesuatu yang menggembirakan adalah bahwa perubahan ke
tingkat yang lebih tinggi mampu bertahan hingga setahun kemudian. [17]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Secara
umum moral dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan
yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri
ketika melakukan yang benar dan merasa
bersalah atau malu ketika melanggar standar tertentu. Moralitas memiliki tiga
komponen, yaitu :
a. komponen afektif atau emosional terdiri
dari berbagai jenis perasaan ( seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian
terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan
salah yang memotivasi pemikiran dan tindakan moral.
b. Komponen kognitif merupakan pusat dimana seseorang melakukan
konseptualisasi benar atau salh dan membuat keputusan tentang bagaimana
seseorang berperilaku.
c. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana
seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong,
curang, atau melanggar aturan moral lainnya.
2. perkembangan moral pada anak adalah sebagai berikut
:
a. Anak mulai mengenal konsep moral pertama
kali dari lingkungan keluarga.
b. Pada usia sekolah dasar, anak sudah
dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan
sosialnya.
3. Perkembangan Kesadaran Moralitas pada
anak SD/MI
Sutau system social yang paling
awal berusaha
menumbuhkembangkan system nilai, moral, dan siakap kepada anak adalah keluarga.
Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya
tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan
yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan
perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan
agama
B.
Saran
1.
Untuk pembaca diharapkan lebih mendalami
materi ini.
2.
Bagi penyusun diharapkan lebih baik lagi
dalam penyusunan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali , Mohammad , dkk. 2008. Psikologi
Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Hasan,
Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi
Perkembangan Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Hastuti,
Wiwik Dwi, dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik “Paket 9”. Surabaya
: LAPIS-PGMI.
Muawanah,
Elfi. 2009. Bimbingan dan Konseling
Islami di Sekolah Dasar. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Yusuf , Syamsu. 2011. Psikologi
Perkembangan Anak & Remaja. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya.
[1]
Wiwik Dwi Hastuti, dkk, Perkembangan
Peserta Didik “Paket 9”, (Surabaya : LAPIS-PGMI, 2008), 7.
[2]
Mohammad Ali, dkk, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, (
Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008) , 136
[3]
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi
Perkembangan Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), 261.
[5]
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi
Perkembangan Islam, 262.
[6] Syamsu Yusuf LN, Psikologi
Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya ,2011 ), 12.
[9] Elfi Muawanah, Bimbingan dan
Konseling Islami di Sekolah Dasar, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009) 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar